Download App

Chapter 2: Bab 2 - In Memories

Perginya pagi membawa embun yang sejuk, tentram dunia tatkala fajar menyingsing. 13 Mei tahun ini, pagi bersama San tengah bersiap pergi ke acara farewell party bersama anak-anak di sekolah di sebuah ballroom hotel yang letaknya tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan gaun berwarna misty grey berpotongan lurus setinggi lutut, San tampak memukau, dengan potongan lengan sepertiga panjangnya.

San keluar dari kamar asrama wanita, tempatnya Bude Asri bekerja. Asrama ini rumah kedua San setelah sekolah, sejak datang ke Jakarta gadis itu tinggal di sini seorang diri. Asri sendiri adalah sahabat Atma semasa kuliah. Menurut Atma, San kecil akan lebih nyaman tinggal bersama Asri, meski sesekali akan pulang ke kontrakan Atma untuk melepas rindu atau sekadar melukis bersama.

San menuju dapur, tampak Asri tengah membuat sarapan. “Pagi, Bude?” sapa San seraya tersenyum memamerkan deretan giginya yang bersih. Kulit seputih susu di wajah San memerah.

“Cantik sekali anakku ini, mau pergi sekarang?” Asri menghampiri San. Diraih pipinya yang molek itu, sejak kecil hingga hari ini datang, baru pertama kali Asri melihat San tampak seperti remaja pada umumnya yang tampil memesona di acara perpisahan. Biasanya hanya berdandan ala kadarnya. San tidak menyangkal sisi femininnya hari ini.

“Aku pergi sekarang, ya, Bude. Takut terlambat.”

“Nggak akan sarapan dulu, toh?” lontar Asri pada San yang tengah asyik mengikat tali sepatunya. Memang sedikit nyeleneh gayanya, di atas menggunakan gaun ke bawah menggunakan sepatu sekolah. Namun, itu sebuah kebenaran. San memang berbeda, ia yang selalu edgy dengan tampilannya.

“Nanti juga ada brunch, Bude. Aku berangkat, ya!” seru San seraya membuka pintu, tangannya melambai-lambai riang.

“Hati-hati.”

San berjalan dengan santai, senyum riang di wajahnya membuat aura yang tersembunyi mulanya terpancar kini. Kaki lenjang San menapaki aspal ibu kota yang dihiasi kerikil-kerikil kecil. Berhenti gadis itu di depan pemberhentian angkutan kota. Hari ini, Rea bilang akan diantar kakaknya, jadi San tidak datang ke rumah gadis itu dengan sepeda bututnya.

Beberapa penumpang memerhatikan San, ada yang mengerutkan dahi aneh, sampai bingung. Melihat gayanya bagaikan wanita, tetapi potongan wajahnya nyaris sempurna bagaikan seorang laki-laki. Mirip salah satu artis papan atas yang terkenal karena suara dan aktingnya yang keren.

“Itu cewek apa cowok, sih?” bisik seseorang penumpang pada penumpang lainnya seraya menggulirkan kedua bola matanya pada San yang duduk dekat pintu keluar angkutan tersebut.

“Wanita tapi keliahatan seperti pria, mungkin. Lihat dadanya aja tepos.”

“Lihat gayanya, norak banget. Nggak cocok.”

“Sepatunya jelek banget, bajunya bagus.”

“Dia itu ganteng tapi cantik. Mas apa mbak, sih?”

Bibir San melengkung samar setiap saat telinganya menangkap kata-kata yang sedikit sarkas dari para penumpang. Mobil angkutan yang melaju cukup kencang sebab jalanan lenggang membawa San turun di depan jalan besar, turun San tepat di seberang bangunan hotel tempat acara perpisahan dilangsungkan. Terlihat segerombolan anak turun dari mobil mewah. Jelas, mereka memang lahir dari keluarga kaya raya, apa daya San yang masuk sekolah elit karena beasiswa akademik yang bagus bahkan lebih bagus dari mereka.

San menyebrang jalanan dengan hati-hati, langkah gagah gadis itu berhenti di depan seorang gadis cantik yang menggerai rambut jagungnya dengan sedikit hiasan jepit bunga Mawar berwarna rose gold. Tampil menawan dengan gaun baby pink yang teduh warnanya. Senyum di bibir yang dipoles lipstik tipis juga blushing poin di pipi yang melintas ke area hidung membuatnya benar-benar menawan. San akui, ia menggila hanya dengan melihat Rea berdiri di depan matanya.

“Aku senang kamu pakai gaun yang aku belikan,” ucap Rea, “walau sepatunya nggak cocok!”

“Terlalu tinggi, tumit aku sakit,” balas San sembari mencubit hidung Rea.

Rea menarik tangan San saat gadis tomboi itu hendak melangkah lebih jauh. Tatapan mata Rea yang sendu membuat San terdiam. Sebelah dari alis mata San terangkat. “Kenapa?” ujar San heran.

“Kamu bakal masuk Fakultas Seni, ‘kan?” tanya Rea menatap nanar. Tangan San terjulur meraih puncak kepala Rea. Gadis tomboi itu mendesah pelan sembari tersenyum yang tak siratkan apa pun dari jawaban atas pertanyaan Rea.

Rea mendengkus. “Nggak mau tau, pokoknya harus Fakultas Seni!” paksanya pada San yang mencoba melangkah lebih jauh, tetapi ditahannya.

“Setelah aku pikir kayaknya seni itu membosankan, Rea,” ujar San tersenyum manis.

Rea kesal dicubit perut San yang terhalang serat kain gaunnya. Rea mendengkus lebih keras, tatapan mata tajam bagai elang itu membuat San tertawa renyah.

“Kenapa emangnya kalau aku pikir gitu? Yang mau kuliah, kan, aku?” todong San tidak mau kalah. “Kamu sanggup biayain aku, Rea?”

Rea terdiam, dalam hatinya berkata, bisa saja asal San tetap di sisinya tak pergi ke mana pun atau dengan siapa pun.

“Kalau aku masuk jurusan seni juga, kamu bosan?”

“Nggak, mungkin.” San tertawa lepas meninggalkan Rea yang membelalak. Langkah San yang hampir mendekati pintu utama dikejar Rea dengan lari super ketus. Mendarat tubuh Rea di punggug San.

“Aku akan ikut kamu ke mana pun. Karena nggak ada orang sesabar kamu yang mau dengar setiap keluh kesah aku,” bisik Rea seraya menjulurkan lidahnya.

San hanya menatap sederhana. “Rea?” panggil San dengan syahdu. Gadis itu berbalik, rambutnya tersibak angin menguarkan aroma wangi yang cantik. Untuk ke sejuta kalinya, San selalu dibuat jatuh cinta oleh segala perilaku Rea yang manis. San menggilai berbagai tindak tanduk Rea yang sederhana tetapi selalu jadi candu yang memabukkan. Lebih pekat dari satu sesapan aroma bunga yang masuk lubang hidungnya. San selalu ingin menggapainya lebih jauh lagi. Mendambakan rasa melayang yang jauh lebih, jika dirinya punya sayap.

“Apa pun yang ingin kamu jalani, kamu bebas jalani. Tanpa harus memberitahu aku, tanpa harus memaksa, aku nggak pernah keberatan untuk selalu mendengarkanmu. Justru aku senang, karena hanya kamu yang menerima aku dengan segala keterbatasan ini.” San mendaratkan tangannya di kepala Rea. Keduanya saling berpandangan, meski harus sedikit mendongak sebab San jauh lebih tinggi darinya, tetapi Rea tidak keberatan. Melihat San dalam keadaan seperti ini benar-benar membuat kesadarannya hilang. Lupa diri jika Rea juga perempuan. Rea menganggukkan kepalanya riang.

Berjalan San dan Rea memasuki ruangan yang sudah ditata sedemikian rupa cantiknya. Sudah banyak anak-anak yang bergaya begitu glamor. Mereka silih berlomba memperebutkan predikat siapa paling cantik dan tampan, yang paling mewah dan ber-uang kelas atas. Mereka yang angkuh membawa pangkat anak orang gedean. Sementara San, hanya serpihan kabut tipis meski mengenakan gaun mahal pembelian Rea. Namun, tetap saja keberadaannya pudar. Waktu terus berlalu, berbagai acara yang ada membuat suasana semakin panas saat pengumunan siswa dan siswi penyabet nilai terbesar kelulusan tahun ini. Dan salah satunya San, ia juga yang mendapat undangan langsung dari kampus seni di Jakarta sebagai calon mahasiswa unggulan. Akan tetapi, San hanya menyambutnya dengan senyuman. Terlalu banyak dari mereka yang meremehkannya.

Beberapa anak menghampiri Rea, mengajak gadis itu berdansa menikmati musik. Di kejauhan San hanya memandang, melihat Rea berjingkrak melepaskan penat dalam dadanya membua San bahagia. Segelas minuman perisa stroberi dengan beberapa popping boba menemani kesendirian San di sudut ruangan yang mewah. Rea melambaikan tangannya, mengajak San untuk ikut menari. Akan tetapi, San masih membatu di tempatnya, hanya mengangkat gelas minumnya sebagai jawaban bahwa dirinya tidak mau ikut dalam keramaian anak-anak yang ada. San tengah menikmati kebahagiaan kecilnya, mencintai Rea dalam diam. Memandangi Rea dalam keramaian.

“San, boleh minta tolong?” lontar seseorang. Tampak gadis cantik dengan gaun baby blue berdiri memungguni San. Tampak beberapa kancing bajunya terbuka. “Tolong pasangkan kancingnya!” imbuh gadis itu.

San menatap risi.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login