Bel tanda pergantian pelajar pertama dan berganti lagi ke jam istirahat, berlalu dengan cepat. Membuyarkan seluruh nostalgia yang telah kurangkai dengan apik.
"Kupikir, pelajaran olahraga hari ini akan berakhir dengan perkenalan dan reviu singkat pelajaran yang sudah-sudah. Enggak tahunya justru dapat tugas kelompok." Aku mengomel ketika duduk di kursi depan tempat Nisa duduk. Penghuninya, entah sudah kabur ke mana.
"Itu, 'kan sama saja." Alvian duduk di kursi kosong lain di seberang tempat Nisa duduk. Kelas sudah kosong kira-kira sejak dua menit lalu. "Tugas kelompok memang membahas pelajaran yang sudah-sudah. Pak Fadh juga perlu tahu bab-bab di pelajaran mana yang kita kuasai dan bab mana yang belum."
"Kalau untuk itu, Guru Baru itu, 'kan hanya perlu melihat buku panduannya."
"Bukan hanya gurunya, muridnya juga perlu membahas ulang pelajarannya!" Alvian bersikeras dengan pendapatnya.
Ck. Kenapa Alvian jadi terus-menerus membela Guru Baru itu. Kenapa dia jadi menyebalkan begini? Walaupun sebelum ini dia memang anak yang menyebalkan, kuakui hari ini lebih menyebalkan laagi. Dan kenapa juga aku dan Alvian harus berdebat tentang Guru Baru itu bukannya langsung ke kantin untuk ikut menyerbu menu nasi kuning dan yang lainnya.
"Kamu suka sama Guru Baru itu, ya?" kataku semakin kesal, masih tidak mau berhenti berdebat.
"Kenapa aku harus suka sesama laki-laki?!" Alvian terlihat lebih kesal.
"Sudah, sudah." Nisa akhirnya angkat bicara, mengakhiri perdebatan tidak penting kami. "Jadi, seperti apa kita kerjakan tugasnya? Seperti biasa?"
"Iya, seperti biasa." Alvian menimpali. "Aku sedang sibuk akhir-akhir ini. Jadi hanya bisa cara itu."
Kami sepakat.
Seperti biasa artinya membagi dua materi yang harus dirangkum. Satu bagian untuk Nisa dan satu bagian lagi dikerjakan oleh Alvian.
Aku? Tugasku adalah menyatukan rangkuman hasil kerja Nisa dan Alvian, kemudian membuat salinannya dan dibagikan ke masing-masing anggota untuk dipelajari. Jika ada hal-hal yang perlu dibahas bersama, kami akan melakukannya di sekolah saat istirahat.
Cara bekerja seperti ini sangat efektif. Setidaknya untuk kelompok kami.
Sebagai pelajar, sebenarnya kami memiliki cukup banyak waktu luang untuk mengerjakan tugas bersama dan berkumpul di suatu tempat. Tapi kutekankan sekali lagi, kalau Nisa berbeda.
Waktu Nisa tidak seluang kami semua. Aku dan Alvian paham sekali akan hal itu. Jadi, sebisa mungkin kami mencari cara untuk mengimbanginya tanpa mengganggu waktu libur Nisa. Ditambah lagi Alvian yang juga terlalu sering sok sibuk. Sungguh, hanya ini satu-satunya cara bekerja kelompok yang efektif untuk kami.
Selama ini ketika mendapat tugas kelompok, kami memang selalu bertiga. Meski satu kelompok harusnya diisi 4-5 anak, kami tidak masalah jika hanya bertiga. Selama ada Alvian si Genius bermata empat yang selalu juara kelas dan Nisa yang rutin masuk 5 besar dengan posisi tidak tergoyahkan, tugas apa pun yang diberikan, kami selalu bisa menyelesaikannya dengan baik. Dan yang terpenting, mendapat nilai yang selalu sempurna.
Aku? Karena berada di antara orang-orang Genius dengan otak kiri dominan, maka tugasku adalah sebagai penyeimbang. Aku memang tidak sepintar Nisa, apalagi Alvian. Tidak keluar dari urutan 17 di antara 20 murid saja aku sudah bersyukur.
Rutin berada di posisi 17 karena mata pelajaran untuk otak kanan tidak begitu berperan sebagai penentu peringkat kelas. Padahal untuk mata pelajaran kesenian seperti musik dan menggambar, dan mata pelajaran olahraga, aku yakin lebih genius dari Alvian.
Jadi, jika Nisa dan Alvian adalah Yin, maka aku adalah Yang dan dunia akan seimbang. Hahahaha...
"Menjijikkan!" Alvian yang melihatku senyum-senyum sendiri, mendesis. Seolah aku baru saja berpikiran jorok.
"Nisa besok off, 'kan? Jangan lupa pertandinganku ya, jam lima sore." Aku mengabaikan Alvian.
"Jangan khawatir, untuk hari ini saja kamu sudah mengatakan hal yang sama sebanyak lima kali. Dan kamu sudah mulai bertingkah seperti ini sejak seminggu yang lalu. Jadi, enggak mungkin Nisa sampai lupa. Pegang kata-kataku." Alvian menjawab pertanyaan yang kuajukan untuk Nisa.
Aku tidak mungkin mengelak karena hal itu benar. Jadi yang bisa kulakukan hanya mengabaikan Alvian dan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru dia katakan. Sebelum jam istirahat usai, kami bertiga segera beranjak ke kantin.
"Hari ini Alvian berulang tahun, jadi dia yang akan mentraktir kita," kataku seenaknya.
"Yang benar saja! Sejak kapan orang berulang tahun setiap tiga hari sekali?" Alvian menggerutu tidak terima. "Lagi pula aku enggak mau umurku lebih cepat habis hanya untuk mentraktir orang pelit sepertimu."
"Kalau begitu sini, biar Tante yang bayar." Nisa tersenyum genit sembari mengeluarkan uang dua ribu rupiah dan mengipaskan di depan wajahnya.
"Bagi orang pelit seperti aku ..." Bukan berarti aku mengaku benar-benar pelit, aku hanya sedang menyindir Alvian. "Pantang makan dibayar perempuan."
Dibanding Alvian, aku yakin sebenarnya Nisa jauh lebih Genius. Bayangkan saja, setelah semua hal yang dilaluinya, belum lagi waktu belajarnya yang tersita cukup banyak lantaran harus bekerja, Nisa masih selalu bolak-balik peringkat 4 dan 5. Seandainya Nisa memiliki waktu belajar sebanyak milik Alvian, juga kehidupan yang aman dan nyaman, mereka berdua pasti bisa menjadi rival sejati.
Sekolah bukan hanya rutinitas membosankan untuk menuntut ilmu. Nisa adalah alasan yang membuat pergi ke sekolah terasa lebih menyenangkan. Selalu. Setiap hari. Setiap kali aku masuk kelas dan wajahnya yang tersenyum manis kudapati menatap ke arahku. Seolah Nisa sedang menungguku. Seolah sepanjang malam dihabiskannya untuk merindukanku.
Aku pun sama. Karena setiap kali sampai di sekolah, wajahnya adalah hal pertama yang ingin kutemukan.
Aku pernah berpikir untuk sesekali berada di posisinya. Datang lebih awal ke sekolah dan menunggunya dengan tenang di bangkuku. Kemudian tersenyum manis sebagai sambutan selamat pagi. Sangat ingin tahu bagaimana perasaan Nisa yang menunggu kedatanganku setiap pagi.
Mulai menjalankan misi berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, aku mempercepat alarm bangun tidurku. Aku melakukannya dua hari berturut-turut dan tidak berhasil. Mencoba lagi keesokan harinya, bangun lebih pagi esoknya lagi, dan tetap tidak berhasil.
Aku menyerah. Misi yang kumulai dengan optimisme tinggi, berakhir pada kegagalan. Aku memang tipe orang yang berhati lemah dan mudah menyerah.
Beberapa hari kemudian, aku baru tahu penyebab gagalnya misiku. Saat itu Nisa bertanya mengenai waktu kedatangan Alvian ke sekolah dan segala dugaan anehnya. Saat aku bertanya apa alasannya, Nisa bercerita mengenai keisengannya yang ingin mengalahkan Alvian dengan pergi ke sekolah lebih pagi.
Mendengar hal itu, spontan aku tertawa. Bukan menertawai Nisa atau keisengannya, atau dugaan konyolnya tentang Alvian. Aku menertawakan diriku sendiri yang tidak pernah tepat dalam memilih waktu.
"Jangan bengong saja, ambil piringmu!" Kami telah berada di kantin. Alvian menyodorkan piring padaku dan Nisa bergantian. "Nisa, ini punyamu."
Alvian sendiri memang tidak bisa ditebak. Alasan kedatangannya ke sekolah selalu lebih pagi dari siapa pun aku tidak tahu pasti. Mungkin dia ingin menghindari rumah, atau mungkin hanya rutinitas yang sudah mendarah daging. Yang jika didahului satu orang saja, peringkatnya sebagai juara kelas akan tercoreng.
Alvian, dia memang sudah sedikit aneh sejak aku mengenalnya.
[]